Pengajaran Dengan Kasus (9)

Jika dua masalah yang saya kemukakan sebelumnya tidak bisa diatasi, maka saya kira akan lebih baik bila tidak memaksakan diri untuk menyelenggarakan pengajaran dengan 100% kasus. Apalagi, kalau hanya ingin meniru HBS. Apa akibat yang mungkin bisa timbul?

Pertama, pengajar akan “mati gaya”. Ia bisa frustasi karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kedua, dalam kondisi “mati gaya” tersebut, pengajar bisa terpancing untuk mengemukakan apa yang dianggapnya sebagai solusi.

Kenapa dalam pembahasan kasus, pengajar itu tidak boleh memberikan solusi atas permasalahan kasusnya? Perlu diingat bahwa dua tujuan penting dari pengajaran dengan kasus adalah untuk mengasah kreativitas: baik itu kreativitas berbicara dalam mengemukakan pendapat maupun kreativitas berpikir alternatif dalam mencari solusi.

Nah, dua tujuan tersebut bisa jadi tidak akan tercapai bila solusi diberikan oleh pengajar. Peserta hanya akan menunggu saja solusi yang diberikan oleh pengajar tersebut.

Padahal, apa yang dikemukakan oleh pengajar itu bisa jadi benar hanya untuk persoalan dan atau waktu tertentu namun tidak pada persoalan dan atau waktu yang berbeda. Bagaimana seseorang itu (mahasiswa) kelak akan bisa dihandalkan untuk dapat memecahkan persoalan bila tahunya dalam menghadapi persoalan itu justru hanya menanti jawaban?

Solusi dari kasus itu memang penting namun yang lebih penting lagi adalah kerangka berpikir dan cara dalam memecahkan suatu kasus. Kelak, kasus nyata yang akan dihadapi oleh mahasiswa itu kemungkinan besar akan berbeda.

Maka harapannya, mahasiswa terlatihnya bukan hanya untuk memecahkan kasus tertentu saja. Namun, mereka juga terlatih untuk tahu caranya dalam menghadapi persoalan (kasus) nyata dalam hidup mereka. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan tahu pula bagaimana cara menghadapi, memperlakukan, dan mengatasi atau memecahkan suatu persoalan (kasus) nyata tersebut.

Namun, jika mahasiswa hanya terlatih untuk menyelesaikan kasus dengan persoalan dan atau waktu yang tertentu saja, maka kelak ia bisa gagap ketika menghadapi kasus dengan kondisi dan atau waktu yang berbeda. Padahal, seperti yang sudah saya kemukakan sudah barang tentu kasus yang nanti akan dihadapi peserta (mahasiswa) di dalam kehidupan nyata, hampir bisa dipastikan kalau akan sangat berbeda.

Lebih dari itu metoda kasus dianggap metoda yang tepat untuk tujuan membangun kearifan (wisdom). Keyakinan yang perlu dipegang adalah apa yang dikemukakan oleh Prof. Grag dari HBS yang saya utarakan sebelumnya bahwa wisdom cannot be told.

Namun, wisdom itu tidak akan berhasil dibangun bila mahasiswa tidak terlatih “mengalami sendiri” berbagai persoalan dari, misalnya pembahasan studi kasus di kelas. Tujuan pengajaran dengan kasus dengan demikian gagal untuk dicapai.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.